Jawabannya
ringkas : Mungkin puluhan tahun yang lalu.
Jawaban yang
lebih sadis : Tidak pernah.
Tapi jangan dulu
ditepis. Karena memang pertanyaan ini gak dimaksudkan untuk parkir di kepala
kita yang sebelah kiri - kepala yang serba mikir dengan tulang-tulang logika.
Lebih tepatnya, pertanyaan ini ditujukan buat penghuni kepala kita yang sebelah
kanan. Kepala yang memang dirancang Tuhan buat bekerja agak ngawur ... namun
ajaib.
Ya ... kapan
terakhir kali kita duduk?
Kalau boleh
dimelar sedikit, pertanyaannya jadi begini :
Kapan terakhir
kali kita duduk untuk sekedar duduk?
Bukankah kita
terbiasa duduk untuk mikir?
Duduk untuk
nyeruput kopi sambil tenggelam dalam sejuta berita di koran?
Duduk untuk
ngerjain soal ujian yang maha ruwet?
Duduk untuk
meeting dan adu mulut demi sejengkal ego yang kita perjuangkan seumur hidup?
Duduk sambil
gedek-gedek kepala karena headphone mp3 nyangkut di kuping kita?
Duduk sambil
menggasak cemilan yang telanjang pasrah di atas meja?
Duduk sambil
menerbangkan pikiran kita ke banyak pelosok bumi?
Oh... tentu saja.
Kita duduk bukan untuk duduk.
Kita duduk bukan untuk duduk.
Kita duduk untuk
apapun selain untuk duduk itu sendiri.
Oh .. tentu saja.
Karena kita adalah
manusia yang sophisticated.
Yang dilatih
untuk membenci sesuatu yang sepele dan indah. Yang tidak mau terima kenyatan
kalau duduk saja bisa menghadirkan sesuatu yang menakjubkan.
Kita adalah
kumpulan organ canggih yang selalu mengimani bahwa hal-hal besar hanya hadir
dalam sesuatu yang spektakuler. Bahwa kenikmatan harus selalu datang dari apa
yang kita tukar dengan tumpukan kertas merah bergambar Soekarno-Hatta.
Itulah kita. Masuk akal, dan sesuai dengan citra diri
kita.
Tapi ... kenapa
tidak kita coba ... barang sebentar saja.
Cobalah duduk .....
Menumpahkan
segala kepekaan kita untuk menyerap sensasi dari duduk itu sendiri.
Merasakan dengan
segenap kesadaran kita ... seperti apa rasanya duduk untuk duduk.
Seolah itu adalah
duduk yang terakhir kalinya dalam hidup kita.
Seolah Tuhan
semenit lalu mengetok pintu rumah kita dan berkata, ”Kamu sebentar lagi
selesai. Duduklah....... karena inilah kali terakhir keberadaan engkau bisa
merasakan duduk.”
Dan
duduklah ......
Mengambil nafas
panjang dengan mata terpejam, lalu buanglah nafas dengan selembut mungkin - bagai orang yang baru pertama
kalinya bernafas. Merasakan geliat-geliat otot kita teregang menyentuh bantalan
kursi yang makin kentara sensasi empuknya, sensasi hangatnya, sensasi
teksturnya. Dan pikiran kita hanya kita baktikan untuk kursi itu saja - untuk
setiap mili tubuh kita yang sedang duduk dan bernafas lembut.
Tidak peduli
berapa detik sudah terlintas.
Kita tetap duduk.
Hanya duduk. Itu saja.
Dan dengan
hantaran nafas yang menyatu dengan tubuh duduk kita, keajaiban itu mulai terjadi.
Keajaiban duduk
tenang. Keajaiban yang Tuhan tawarkan kepada kita dari hal-hal yang kita tidak
duga.
Mujijat yang
tidak perlu didapat dengan sekolah dan jabatan selangit.
Karena kita dapat
duduk setiap saat.
Mengundang Tuhan
dalam duduk kita.
Tidak harus
berdoa. Tidak harus membaca mantra sambil duduk.
Cukup duduk saja
... dan rasakan dunia seolah berhenti. Menunggu kita.
Karena urusan kantor
bukan di atas kursi kita.
Keribetan
keluarga bukan di atas kursi kita.
Kesusahan hidup
bukan di atas kursi kita.
Cuma ada Anda di
atas kursi.
Kursi itu
menerima Anda.
Dan Anda menerima
kursi itu.
Karena kursi
diciptakan untuk Anda duduk.
Dan nanti, kalau
ada malaikat tahu-tahu bersinar di depan kita dan bertanya, ”Kenapa kamu
duduk?”
Kita bisa menatap
tenang, ”Karena aku sungguh-sungguh ingin duduk ..”
Dan duduklah
Anda.
Hanya duduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar