Jumat, 30 November 2012

Duduk

Kapan terakhir kali kita duduk?


Jawabannya ringkas : Mungkin puluhan tahun yang lalu.
Jawaban yang lebih sadis : Tidak pernah.

Lha ... ini kan mustahil.
Terlalu hiperbolik. Kelewat ngawur.

Tapi jangan dulu ditepis. Karena memang pertanyaan ini gak dimaksudkan untuk parkir di kepala kita yang sebelah kiri - kepala yang serba mikir dengan tulang-tulang logika. Lebih tepatnya, pertanyaan ini ditujukan buat penghuni kepala kita yang sebelah kanan. Kepala yang memang dirancang Tuhan buat bekerja agak ngawur ... namun ajaib.

Ya ... kapan terakhir kali kita duduk?
Kalau boleh dimelar sedikit, pertanyaannya jadi begini :
Kapan terakhir kali kita duduk untuk sekedar duduk?

Bukankah kita terbiasa duduk untuk mikir?
Duduk untuk nyeruput kopi sambil tenggelam dalam sejuta berita di koran?
Duduk untuk ngerjain soal ujian yang maha ruwet?
Duduk untuk meeting dan adu mulut demi sejengkal ego yang kita perjuangkan seumur hidup?
Duduk sambil gedek-gedek kepala karena headphone mp3 nyangkut di kuping kita?
Duduk sambil menggasak cemilan yang telanjang pasrah di atas meja?
Duduk sambil menerbangkan pikiran kita ke banyak pelosok bumi?

Oh... tentu saja. 
Kita duduk bukan untuk duduk.
Kita duduk untuk apapun selain untuk duduk itu sendiri.

Oh .. tentu saja.
Karena kita adalah manusia yang sophisticated.
Yang dilatih untuk membenci sesuatu yang sepele dan indah. Yang tidak mau terima kenyatan kalau duduk saja bisa menghadirkan sesuatu yang menakjubkan.

Kita adalah kumpulan organ canggih yang selalu mengimani bahwa hal-hal besar hanya hadir dalam sesuatu yang spektakuler. Bahwa kenikmatan harus selalu datang dari apa yang kita tukar dengan tumpukan kertas merah bergambar Soekarno-Hatta.
Itulah kita. Masuk akal, dan sesuai dengan citra diri kita.

Tapi ... kenapa tidak kita coba ... barang sebentar saja.

Cobalah duduk .....
Menumpahkan segala kepekaan kita untuk menyerap sensasi dari duduk itu sendiri.
Merasakan dengan segenap kesadaran kita ... seperti apa rasanya duduk untuk duduk.
Seolah itu adalah duduk yang terakhir kalinya dalam hidup kita.
Seolah Tuhan semenit lalu mengetok pintu rumah kita dan berkata, ”Kamu sebentar lagi selesai. Duduklah....... karena inilah kali terakhir keberadaan engkau bisa merasakan duduk.”

Dan duduklah ......
Mengambil nafas panjang dengan mata terpejam, lalu buanglah nafas dengan selembut mungkin - bagai orang yang baru pertama kalinya bernafas. Merasakan geliat-geliat otot kita teregang menyentuh bantalan kursi yang makin kentara sensasi empuknya, sensasi hangatnya, sensasi teksturnya. Dan pikiran kita hanya kita baktikan untuk kursi itu saja - untuk setiap mili tubuh kita yang sedang duduk dan bernafas lembut.

Tidak peduli berapa detik sudah terlintas.

Kita tetap duduk. Hanya duduk. Itu saja.

Dan dengan hantaran nafas yang menyatu dengan tubuh duduk kita, keajaiban itu mulai terjadi.
Keajaiban duduk tenang. Keajaiban yang Tuhan tawarkan kepada kita dari hal-hal yang kita tidak duga.
Mujijat yang tidak perlu didapat dengan sekolah dan jabatan selangit.

Karena kita dapat duduk setiap saat.
Mengundang Tuhan dalam duduk kita.
Tidak harus berdoa. Tidak harus membaca mantra sambil duduk.
Cukup duduk saja ... dan rasakan dunia seolah berhenti. Menunggu kita.
Karena urusan kantor bukan di atas kursi kita.
Keribetan keluarga bukan di atas kursi kita.
Kesusahan hidup bukan di atas kursi kita.

Cuma ada Anda di atas kursi.
Kursi itu menerima Anda.
Dan Anda menerima kursi itu.

Karena kursi diciptakan untuk Anda duduk.

Dan nanti, kalau ada malaikat tahu-tahu bersinar di depan kita dan bertanya, ”Kenapa kamu duduk?”

Kita bisa menatap tenang, ”Karena aku sungguh-sungguh ingin duduk ..”

Dan duduklah Anda.

Hanya duduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar