Selasa, 06 November 2012

Ola ...

Hidup itu penuh sesak dengan ironi.

Kadang ironinya tragis dan bikin merinding. Kadang ironinya malah lucu dan bikin kita meringis.

Yang gue alami entah yang mana.
Baru aja kemarin malam, gue dan Sang Istri mengendap-ngendap keluar rumah mengangkut kotak plastik gede warna biru masuk ke dalam mobil. Dengan mimik bak agen rahasia yang lagi bawa hulu ledak nuklir, kami diam-diam menyetir mobil kami di tengah kentalnya malam yang dihujani cahaya bulan purnama. Dan lokasi yang kami sasar adalah bak sampah 2 kilometer jaraknya dari rumah.
Begitu rem mobil mendecit di situ, kamipun keluar dan dengan ekstra hati-hati membuka penutup wadah plastik gede yang sedari tadi bergerak-gerak mengeluarkan bunyi mendesis selama perjalanan.

Dan begitu tutupnya menganga sedikit, ”MeoooWWww!”
Melesatlah keluar dari dalam kotak itu seekor kucing loreng-loreng hitam abu-abu. Komplit dengan 3 ekor anak-anaknya yang belum genap setahun.

Kenalkan, namanya OLA. Kucing gue yang sudah jadi penduduk di rumah gue selama 2 tahun. Kucing yang sejak dibuntingi induknya sampai bisa bunting sendiri itu memang sudah jadi bagian dari keluarga gue. Namun, malam itu, OLA dinyatakan sebagai OUTCAST. Tugasnya sebagai penggembira dan pajangan lucu di rumah sudah usai. Saatnya OLA dan ketiga anaknya melanjutkan petualangan hidup mereka di kompleks bak sampah .... Dan malam itu kami berdoa, semoga Tuhan mau berkenan mengambil alih tugas kami memberi makan dan merawat anak cucu OLA ...

Kenapa harus OLA yang kebagian nasib apes? Padahal di rumah, OLA bukanlah satu-satunya kucing yang numpang di rumah dan makan gratis seumur hidupnya. Masih ada kucing yang lain. Jadi, kenapa harus OLA?

Alasannya sederhana. Karena OLA tidak secantik ibunya yang ANGORA asli. Karena OLA adalah kucing kampung hasil kumpul kebo (kumpul kucing, maksudnya) antara ibunya yang angora dengan kucing-kucing jantan kampung yang sering mejeng di depan rumah. Dan OLA juga suka ribut dan mengeong-ngeong saat perutnya kempes. Ditambah, anak-anak OLA juga makin kental paras kampungnya. OLA dan anak-anaknya dinilai tidak layak lagi. OLA harus dibuang.

Ironis.
OLA cuma kucing yang tidak paham apa-apa soal ras mana dia berasal. OLA cuma mengeong dan berekspresi seadanya tanpa mengerti apa-apa soal konsep kesopanan. OLA juga melahirkan anak-anaknya dengan iklas, dan rajin  menyusui anak-anaknya tanpa pernah mengeluh. OLA adalah kucing yang menjalani eksistensinya dengan benar. Dia adalah kucing tulen yang menghidupi kodratnya dengan baik.

Dan OLA dibuang oleh gue yang mendewakan kesetaraan dan perdamaian.

Jadi, entah ini ironi yang tragis atau ironi yang bikin meringis ..... gue cuma angkat tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar