Waktu jaman dinosaurus masih gigit
besi … jauh sebelom leluhur gue bermimpi bakal punya keturunan manusia tiga
perempat normal kayak gue, maka hiduplah beragam manusia-manusia bermonyong
besar dan berbulu lebat. Mereka dengan segala keterbatasannya memahami semesta masih sering merasa asing ama dunia mereka.
Gak paham apa petir itu sebetulnya. Gak paham apa gunung berapi itu sebetulnya. Gak paham apa wifi itu sebetulnya (koreksi : dulu belom ada wifi. Maaf, penulis
kurang melakukan riset sebelom bikin entri blog ini).
Bahkan mereka gak paham kalau suatu saat monyong keturunan mereka bakal kempes, lalu kemudian sering saling bernostalgia dengan kemonyongan mereka menggunakan ritual sapaan, “ Dasar moyong lu!” Nah, itulah kenapa kemudian bangsa-bangsa nendearthal ini kemudian masuk ke gua mereka masing-masing. Berlindung di sana. Berkontemplasi di sana. Berusaha memahami dunia dari berkas cahaya tipis yang masuk lewat celah bebatuan.
Bahkan mereka gak paham kalau suatu saat monyong keturunan mereka bakal kempes, lalu kemudian sering saling bernostalgia dengan kemonyongan mereka menggunakan ritual sapaan, “ Dasar moyong lu!” Nah, itulah kenapa kemudian bangsa-bangsa nendearthal ini kemudian masuk ke gua mereka masing-masing. Berlindung di sana. Berkontemplasi di sana. Berusaha memahami dunia dari berkas cahaya tipis yang masuk lewat celah bebatuan.
Lalu di kala iseng dan senggang, mereka
pun bermain Nintendo bersama keluarga (koreksi : maaf rupanya dulu belom ada Nintendo.
Lagi-lagi kurang riset mendalam nih). Maksud gue, mereka kemudian
mencorat-coret dinding gua mereka dengan rupa-rupa goresan sederhana, yang
maksudnya untuk dinikmati sendiri. Diketawain
sendiri. Ditangisin sendiri. Dan ehm … kadang-kadang dikencingin sendiri juga.
Yang mereka gak sadar adalah, kelak ketika ujud mereka cuma tinggal tulang
taleng, gua mereka kemudian digali dan dieksplorasi habis-habisan oleh para
arkeolog (tentu saja sebagian arkeolog itu ada yang semaput menghirup aroma
kencing purbakala mereka di dinding-dinding gua itu). Dan dari situlah para
arkeolog lantas bisa mengira-ngira betapa asiknya hidup mereka di jaman itu: Makan
fried chicken yang paha ayamnya segede paha gajah, tusuk-tusuk gigi pake tulang
T-rex, dan boleh main api-apian kapanpun suka karena rumah gua mereka semua
terjamin anti api.
Gue ... gak ubahnya seperti mereka.
Makhluk penghuni gua. Penghuni kegelapan. Dan sekarang, mereka menyebut orang
gua di jaman canggih sekarang ini dengan istilah yang lebih intelek membahana,
yatu : i n t r o v e r t.
Maka, gue pun sebagai manusia primitif modern menyesuaikan diri, membuat
gua bukan dari bebatuan lagi, melainkan pake pixel dan byte. Dan bim sa la bim,
jadilah gua digital gue sendiri. Gua sempit tempat gue mencorat-coret sekedarnya dan sekenanya apa-apa yang
gue lewati dan gue pikirin. Kadang
serius, kadang slebor, kadang garing segaring-garingnya. Tapi, hey ... it’s
home.
So, selamet mampir ya di gua gue. Gua tempat gue ngeblog dengan cara-cara kadang
di luar nalar dan akal sehat. Ya, maklumlah ... gue ini gak beda ama orang nendearthal yang belom paham
apa itu hidup. Apa itu semesta. Dan semoga temen-temen yang sengaja gak sengaja
kejeblos masuk blog ini, bisa menjadi para arkeolog dan eksplorer kepingan
hidup gue. Para eksplorer yang suatu saat nanti bisa dapet ilham betapa asiknya
hidup gue .... walau cuma sebatas gua sempit yang sederhana.
Thx all ... for you are all the
light that breach tru’ the stone of my cave and brighten my life.
knock.. knock.. kulonuwun..
BalasHapusmari kita masuki dapur kehidupan berbumbu kaki lima; bersitarasa bintang tuju..
salam sambel pete, hehehee :D