Buktinya suatu
pagi.
Gue dan Nyonya habis
melahap mi instan goreng buat sarapan.
Cuma butuh waktu
sebentar mie itu untuk bereaksi. Istri gue dulu yang kena gejalanya. Halusinasi
berat.
Segera gue
menghambur keluar melihat apa yang terjadi. Dan giliran gue yang terkena
halusinasi. Di depan mata gue duduk manis seekor kucing di teras yang lagi
menjilat-jilat kakinya tanpa dosa .... si OLA!!! Ola yang setau gue sudah raib
dibuang di sekitar bak sampah 2 kilometer dari rumah. Setelah membaca
mantra-mantra untuk mengusir halusinasi itu, ternyata OLA masih di depan mata.
Dia masih saja di situ. Nyata. Hidup. Pulang.
Rupanya bukan
halusinasi.
Rupanya makan mi
instan tidak berbahaya.
Gantian satu pertanyaan
besar mengocok-ngocok kepala gue, ”Gimana caranya OLA bisa pulang?!”
Sekedar
pemberitahuan, ini adalah kali kedua OLA dibuang. Pertama kali, gue merayu OLA
masuk mobil dan berkeliaran putar-putar keluar kompleks rumah. Lalu sejarak 1
kiloan dari rumah, gue persilakan OLA keluar mobil dan mencari nafkah sendiri.
Dan bim sala bim, dua hari kemudia OLA muncul kembali di teras rumah. Lalu
istri gue memberikan petuah bijak, ”Kucing selama bisa melihat jalan, dia akan
tahu arah pulang.” Makanya, ini adalah percobaan kedua. Strateginya pun lebih
cermat dan penuh perhitungan. Kali ini OLA dibujuk masuk kotak kontainer
plastik besar, lalu ditutup rapat. Kemudian, gue meluncur sejauh 2 kilometer,
meliuk-liuk di jalan berkelak kelok. Dekat bak sampah dipojokan ruko-ruko, OLA
pun dilepas bebas.
Dan dia lagi-lagi
pulang.
OLA ternyata
adalah kucing super. Sistem navigasinya bukan cuma menggunakan mata dan
telinganya saja. Dia mungkin menggunakan sistem networking, menarik informasi
dari kucing-ucing di daerah rumah gue. OLA tidak disangkal lagi adalah kucing
ber-EQ tinggi.
Tapi tetap saja
gak mengubah kenyataan. OLA tetap
harus berkarir di luar rumah. KTPnya tidak lagi beralamat di rumah gue. Karena
itulah rencana ke-3 dibuat lebih serius. Lebih ekstrim.
Maka, pagi
esoknya, gue berkonspirasi dengan dua rekan trainer yang kebetulan menginap di
rumah gue. OLA lagi-lagi harus mendekam di kotak plastik warna biru. Lalu sobat
trainer gue, yang nyetir mobil. Kali ini, 2 kilometer dianggap jarak yang
terlalu menyepelekan kemampuan navigasi OLA. Bagaimana kalau puluhan kilo?
Nah, maka mobil gue
melesat ke kompleks perumahan mewah Karawaci dekat dengan padang Golf di
sana. Alih-alih tempat sampah dan lokasi kumuh, OLA layak mendapatkan tempat
yang sesuai dengan status kepintarannya. Dan .... untuk ke tiga kalinya, OLA
pamitan dengan gue. Dia melengos masuk di antara semak-semak hijau di pinggir
jalan sebuah apertemen mewah di sana.
OLA .... seandainya
engkau bisa membuktikan kesaktianmu buat kembali pulang ke rumah, maka tak
seorangpun yang akan diperbolehkan lagi
meng-cast away dirimu. Engkau akan menjelma menjadi kucing legendaris yang
pantas menghuni rumah gue .... seumur hidupmu ...
Entah kenapa,
ketika OLA pergi terakhir kalinya, seolah telinga gue mendengar sayup-sayup
suara OLA mendesis kecil .... ”I’ll be back”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar