Tanda menyerah. Sekaligus
tanda salut dan kagum.
Bukan kepada
musuh bebuyutan. Bukan juga kepada saingan-saingan.
Maklum, sudah seminggu
ini gue bertarung urat syaraf dengan mereka.
Awalnya sepulang
training. Badan masih lengket dengan keringat. Harusnya, kalau sudah menginjak rumah dan
ketemu istri - hati jadi semilir-semilir ditiup angin tenang. Tapi kala itu tidak
sama sekali. Pasalnya gue memergoki ada semut-semut sedang pawai membawa
serpihan bangkai jangkrik masuk kedalam lubang kecil di sudut nat keramik dekat
pintu. Ruang tengah yang mustinya apik semulus paha cewek jadi gak enak
dilihat. Maka maklumat negarapun dikeluarkan : lubang itu harus disumbat dan
semut-semut harus diungsikan. Biarkan mereka bedol desa ke tempat lain, asal
jangan merusak pemandangan di dalam rumah.
Kendati badan
masih berpeluh keringat, gue segera bongkar gudang dan mengambil adonan
penutup retak yang dari dulu sudah standby di situ in case of emergency. Segera
gue tutup lubang semut yang diameternya ga lebih dari setengah mili itu.
Selesai! Dengan cepat retakannya kesumbat dan mengering. Sementara itu pawai
semut jadi acak-acakan saking mereka kebingungan kehilangan akses masuk ke
sarang mereka. Lantas dengan sedikit sentuhan baygon, gue mencetak dosa besar melakukan
pembantaian masal terhadap beberapa puluh semut gak berdosa malam itu.
guepun tidur
tenang. Dan berharap tidak mimpi dihantui para arwah gentayang semut-semut yang
dendam kesumat.
Besoknya gue
bangun.
Disambut dengan
pemandangan yang bikin mata tambah belekan.
Lubang yang gue
tutup kemarin menganga kembali. Rombongan semut hilir mudik lagi keluar masuk
situ. Beberapa semut bahkan seolah memalingkan mukanya menatap gue. Mereka
nyengir.
Kontan, setelah
merasa dipermalukan oleh segerombolan semut – gue kembali menyabet adonan
penyumbat retak. Lagi-lagi gue dempul lubang semut itu. Lebih tebal dari
sebelumnya. Dalam benak gue, hebat juga tuh semut. Dengan mulut mereka yang
cuma segede ujung jarum pentul, berhasil mengorek dempulan nat keramik satu
serpih demi satu serpih, hingga akhirnya tembus lagi keluar. Pasti butuh kerja
sama dan tekad sebesar gajah untuk bisa melakukan itu. Tapi, tokh gue tetap
membalas kehebatan semut-semut itu dengan kesadisan gue lagi. Jalan masuk
mereka disumbat lagi. Semutpun kocar-kacir lagi kehilangan pintu masuk ke
markas mereka.
guepun bernafas
lega. Dan bisa pergi nyambut gawe dengan tenang.
Begitu balik ke
rumah malamnya, yang gue dapatkan lagi-lagi pemandangan spektakuler. Lobangnya
terbuka lagi. Begitu juga dengan semut-semutnya yang sudah berbaris rapi,
sambil tertawa terkekeh-kekeh lagi melihat gue yang kebingungan. O la la.
Mereka menguji nyali gue rupanya. Dan genderang perangpun dimulai. Laskar
semut vs Gue. Dan demi memastikan kemenangan di pihak gue, maka senjata
dempul biasa tidaklah cukup fatal. Harus lebih keras. Harus lebih padat. Maka pintu
gudang lagi-lagi dibuka supaya gue bisa mengambil kantong plastik berisi semen
putih instant. ”Kalau semen masih bisa mereka tembus, itu pasti semut-semut
dewa”, pikir gue. Segera gue beraksi, mengaduk semen itu, melebarkan lubang
semutnya sedikit, dan ”sroott” – semenpun dioles. Tidak lupa gue juga
membubarkan barisan semutnya dulu dengan belaian baygon, memastikan area situ
tak tersentuh lagi oleh mereka selama proses pengeringan semen. Setelah beres,
guepun berdoa sebelum tidur, semoga arwah para semut yang gue bantai
tadi bisa masuk surga semut.
Ceritanya belum
tamat sampai di situ.
Lusanya, ....
lobang itu kembali lagi!
Wajah guepun jadi pucat
... bulu kuduk pada berdiri. Menyadari bahwa di balik dinding rumah gue selama
ini ada sosok ciptaan Tuhan yang dahsyat sakti mandraguna. Makhluk yang ogah
menyerah ditekan kebengisan dan keisengan manusia kerdil seperti gue. Makhluk
yang tahu betul makna ketekunan dan kerja keras yang kedalamannya belum tentu
bisa disamai oleh gue yang cuma manusia ala kadarnya ini. Dan merekalah para
semut .... yang menunggui bumi ini lebih lama dari kaum gue yang homo sapien.
Sambil bendera
putih dikibarkan, dengan segenap sisa ”ambisi” yang gue miliki, guepun
kembali mengaduk adonan semen putih itu. Mengulangi langkah-langkah perjuangan
gue. Hanya saja, kali ini gue lebih presisi membesarkan lubang semutnya dulu,
dan memastikan kekentalan adonan semennya lebih teliti. Then ... semenit berikutnya,
lobang semutnya itu hilang lagi dari pandangan, tertutup semen putih yang lebih
tebal dari sebelum-sebelumnya. Juga tidak lupa baygonnya gue ciprati di areal itu, membuyarkan para semut
yang pada sempoyongan dan kemudian tewas mengenaskan.
Sejenak sebelum menutup
mata dan menghembuskan nafas terakhir, seekor semut seperti mendongak ke arah
gue. Sambil tersenyum iklas. Bukan lagi senyuman seekor semut belaka.
Melainkan senyuman seorang guru yang ditikam oleh muridnya sendiri. Senyuman seorang
guru yang merelakan nyawanya dihabisi, karena merasa sudah usai memberikan pelajaran
hidup yang paling berharga buat sang murid. Pelajaran tentang sebuah kekuatan
yang bernama DETERMINASI.
gue, sang murid.
Semut Sang Guru.
Dan bukannya tak
mungkin, lobang itu akan kembali terbuka.
Kejadian mirip d kosan saya bang tapi ini masih menunggu apakah lubangnya kembali terbuka. Kosan saya d lantai kamarnya d bawah kasur ada selama ini ga sadar waktu saya angkat kasur mau ngepel eh ada ratusan hingga ribuan bang ternyata ada 4 lubang saya tambal semua, esoknya ada 2 lubang baru saya semen lagi setelah 3 hari ini masih aman, saran saya sebelum d semen d siram air garam klo gak minyak tanah baru d semen bang.
BalasHapus