Kamis, 15 November 2012

Me & Semut

gue baru saja mengibar bendera putih.


Tanda menyerah. Sekaligus tanda salut dan kagum.

Bukan kepada musuh bebuyutan. Bukan juga kepada saingan-saingan.

Tetapi pada kawanan semut.
Yang tinggal dibalik lekukan nat keramik dekat pintu depan rumah.
Maklum, sudah seminggu ini gue bertarung urat syaraf dengan mereka.


Awalnya sepulang training. Badan masih lengket dengan keringat. Harusnya, kalau sudah menginjak rumah dan ketemu istri - hati jadi semilir-semilir ditiup angin tenang. Tapi kala itu tidak sama sekali. Pasalnya gue memergoki ada semut-semut sedang pawai membawa serpihan bangkai jangkrik masuk kedalam lubang kecil di sudut nat keramik dekat pintu. Ruang tengah yang mustinya apik semulus paha cewek jadi gak enak dilihat. Maka maklumat negarapun dikeluarkan : lubang itu harus disumbat dan semut-semut harus diungsikan. Biarkan mereka bedol desa ke tempat lain, asal jangan merusak pemandangan di dalam rumah.
Kendati badan masih berpeluh keringat, gue segera bongkar gudang dan mengambil adonan penutup retak yang dari dulu sudah standby di situ in case of emergency. Segera gue tutup lubang semut yang diameternya ga lebih dari setengah mili itu. Selesai! Dengan cepat retakannya kesumbat dan mengering. Sementara itu pawai semut jadi acak-acakan saking mereka kebingungan kehilangan akses masuk ke sarang mereka. Lantas dengan sedikit sentuhan baygon, gue mencetak dosa besar melakukan pembantaian masal terhadap beberapa puluh semut gak berdosa malam itu.
guepun tidur tenang. Dan berharap tidak mimpi dihantui para arwah gentayang semut-semut yang dendam kesumat.

Besoknya gue bangun.
Disambut dengan pemandangan yang bikin mata tambah belekan.
Lubang yang gue tutup kemarin menganga kembali. Rombongan semut hilir mudik lagi keluar masuk situ. Beberapa semut bahkan seolah memalingkan mukanya menatap gue. Mereka nyengir.

Kontan, setelah merasa dipermalukan oleh segerombolan semut – gue kembali menyabet adonan penyumbat retak. Lagi-lagi gue dempul lubang semut itu. Lebih tebal dari sebelumnya. Dalam benak gue, hebat juga tuh semut. Dengan mulut mereka yang cuma segede ujung jarum pentul, berhasil mengorek dempulan nat keramik satu serpih demi satu serpih, hingga akhirnya tembus lagi keluar. Pasti butuh kerja sama dan tekad sebesar gajah untuk bisa melakukan itu. Tapi, tokh gue tetap membalas kehebatan semut-semut itu dengan kesadisan gue lagi. Jalan masuk mereka disumbat lagi. Semutpun kocar-kacir lagi kehilangan pintu masuk ke markas mereka.

guepun bernafas lega. Dan bisa pergi nyambut gawe dengan tenang.

Begitu balik ke rumah malamnya, yang gue dapatkan lagi-lagi pemandangan spektakuler. Lobangnya terbuka lagi. Begitu juga dengan semut-semutnya yang sudah berbaris rapi, sambil tertawa terkekeh-kekeh lagi melihat gue yang kebingungan. O la la. Mereka menguji nyali gue rupanya. Dan genderang perangpun dimulai. Laskar semut vs Gue. Dan demi memastikan kemenangan di pihak gue, maka senjata dempul biasa tidaklah cukup fatal. Harus lebih keras. Harus lebih padat. Maka pintu gudang lagi-lagi dibuka supaya gue bisa mengambil kantong plastik berisi semen putih instant. ”Kalau semen masih bisa mereka tembus, itu pasti semut-semut dewa”, pikir gue. Segera gue beraksi, mengaduk semen itu, melebarkan lubang semutnya sedikit, dan ”sroott” – semenpun dioles. Tidak lupa gue juga membubarkan barisan semutnya dulu dengan belaian baygon, memastikan area situ tak tersentuh lagi oleh mereka selama proses pengeringan semen. Setelah beres, guepun berdoa sebelum tidur, semoga arwah para semut yang gue bantai tadi bisa masuk surga semut.

Ceritanya belum tamat sampai di situ.
Lusanya, .... lobang itu kembali lagi!
Wajah guepun jadi pucat ... bulu kuduk pada berdiri. Menyadari bahwa di balik dinding rumah gue selama ini ada sosok ciptaan Tuhan yang dahsyat sakti mandraguna. Makhluk yang ogah menyerah ditekan kebengisan dan keisengan manusia kerdil seperti gue. Makhluk yang tahu betul makna ketekunan dan kerja keras yang kedalamannya belum tentu bisa disamai oleh gue yang cuma manusia ala kadarnya ini. Dan merekalah para semut .... yang menunggui bumi ini lebih lama dari kaum gue yang homo sapien.

Sambil bendera putih dikibarkan, dengan segenap sisa ”ambisi” yang gue miliki, guepun kembali mengaduk adonan semen putih itu. Mengulangi langkah-langkah perjuangan gue. Hanya saja, kali ini gue lebih presisi membesarkan lubang semutnya dulu, dan memastikan kekentalan adonan semennya lebih teliti. Then ... semenit berikutnya, lobang semutnya itu hilang lagi dari pandangan, tertutup semen putih yang lebih tebal dari sebelum-sebelumnya. Juga tidak lupa baygonnya gue ciprati di areal itu, membuyarkan para semut yang pada sempoyongan dan kemudian tewas mengenaskan.
Sejenak sebelum menutup mata dan menghembuskan nafas terakhir, seekor semut seperti mendongak ke arah gue. Sambil tersenyum iklas. Bukan lagi senyuman seekor semut belaka. Melainkan senyuman seorang guru yang ditikam oleh muridnya sendiri. Senyuman seorang guru yang merelakan nyawanya dihabisi, karena merasa sudah usai memberikan pelajaran hidup yang paling berharga buat sang murid. Pelajaran tentang sebuah kekuatan yang bernama DETERMINASI.

gue, sang murid.
Semut Sang Guru.

Dan bukannya tak mungkin, lobang itu akan kembali terbuka.

1 komentar:

  1. Kejadian mirip d kosan saya bang tapi ini masih menunggu apakah lubangnya kembali terbuka. Kosan saya d lantai kamarnya d bawah kasur ada selama ini ga sadar waktu saya angkat kasur mau ngepel eh ada ratusan hingga ribuan bang ternyata ada 4 lubang saya tambal semua, esoknya ada 2 lubang baru saya semen lagi setelah 3 hari ini masih aman, saran saya sebelum d semen d siram air garam klo gak minyak tanah baru d semen bang.

    BalasHapus