Senin, 01 Desember 2014

Mind Blowing

“Mind blowing”
Gitulah yang satu-satunya tumpah dari mulut gue begitu beres nonton film “Lucy” hasil besutan dalang film Perancis Luc Besson. Kalau belom pernah nonton tuh film, gue bocorin deh spoilernya : ceritanya tentang cewek bernama Lucy yang di awal film kemampuan otaknya cuma 1% . Lalu gara-gara sebuah peristiwa apes, dia dipaksa nyelundupin sekantong plastik narkoba jenis baru yang disisipin dibawah usus di dalam perutnya. Nah, di satu kejadian, perutnya ditendang oleh salah satu antek penyelundup itu.
Alhasil isi kantong narkoba di perutnya robek dan mengkontaminasi darahnya sampai ke otak. Terjadi deh proses berantai kimia, yang memicu akselerasi kemampuan otak Lucy. So, menit demi menit film itu nunjukin apa aja gejala-gejala yang dialami manusia kalau kapasitas otaknya setahap demi setahap mencapai 100%.
Kisahnya bersinggungan juga dengan seorang Profesor bernama Norman yang selama tahunan udah menyelidiki tentang hipotesis kemampuan evolusi otak manusia, yang di penghujung film itu akhirnya ketemu dengan Lucy dan menjadi saksi mata betapa mencengangkannya kesaktian otak yang bisa mencapai 100%.
Memang sih, tokh cuma film. Garapan fiksi yang kawin dengan sedikit bumbu science.
Tapi .... buat gue, film itu bicara lebih banyak. Film itu ditunggangi oleh kebijakan filsafat yang tinggi. Dan Luc besson ternyata bukan sutradara sembarangan ... karena di mata gue dia adalah wujud seorang filsuf era digital. Dan rupanya, film ini adalah jeritan hatinya yang makan waktu 10 tahun masa inkubasi sampai akhirnya bisa dimuntahkan ke kesadaran kita dalam bentuk film.

 When U can’t tell people about it, just make a scifi movie out of it. 

Selain film the Matrix yang udah tenggelam di lautan film hollywood bertahun-tahun lalu, gue pikir film Lucy ini punya misi sama ….telling people the possible truth. Film ini fungsinya mirip sendok di segelas es teh manis. Pengocok status quo. Membangkitkan endapan gula yang terlupakan. Dan butiran-butiran gula yang belum larut dalam kehidupan kita yang manis ini mencuat dalam dialog-dialog film Lucy ...

"We humans are more concerned with having than with being." (Profesor Norman)
Hmmm … gue ketawa kecil begitu denger potongan kalimat ini muncul. Mengangguk-angguk kayak anjing yang baru dikasih makan tulang. Uh, bener banget. Segala kericuhan manusia yang sibuk pingin “memiliki” akhirnya membuat kita berburu ilusi sampai mati. Dan kita ujung-ujungnya cuma menjadi manusia yang pernah merasa punya ini dan itu, ketimbang menjadi manusia yang mencari ujud jati dirinya. Dan panggung kekonyolan kitapun bergema dimana-mana. Kepedulian untuk memiliki akhirnya bikin kita posesif dengan orang. Bikin kita depresi saat merasa kehilangan. Karena begitu kita yakin bahwa kita bisa memiliki, maka kitapun jadi yakin akan resiko kehilangan. Padahal kata “memiliki” itu gak pernah punya makna mutlak. Coba seandainya kita sadar, bahwa kita tidak pernah bisa dan berhak memiliki apapun – mengontrol apapun. Maka otomatis, kita gak akan pernah merasa “kehilangan”.
Aihh .. aih …. Tingkah manusia sungguh menggelikan ya ...

“All social systems we’ve put into place are a mere sketch: “one plus one equals two”, that’s all we’ve learned, but one plus one has never equaled two — there are in fact no numbers and no letters, we’ve codified our existence to bring it down to human size, to make it comprehensible, we’ve created a scale so we can forget its unfathomable scale.” (Lucy)
O la laa … menohok banget. Apapun yang kita coba bangun adalah berdasarkan konsep, konsep, dan konsep yang kita ciptakan sendiri. Cinta, Pangkat, Sosial, Angka, Kata. Semua itu cuma sketsa yang kita bangun karena ketidakmengertian kita tentang diri kita sendiri. Makanya, saking manusia itu malas menjelajahi dan maunya yang gampang-gampang dipahami, maka mulailah kita merancang-rancang seabrek-abrek definisi yang lebih mudah kita pahami. Alias kita menciptakan semua imej-imej tentang apapun … dan menganggapnya sebagai pijakan sejati. Kita melindungi masing-masing diri kita dengan menciptakan gelembung-gelembung hidup yang seaman dan senyaman mungkin. Gak perlu repot mikir, dan ga akan resiko disebut penyimpangan sosial.

“Time is the only true unit of measure, it gives proof to the existence of matter, without time, we don’t exist.” (Lucy)
Dimensi waktu adalah dimensi yang memungkinkan manusia punya ruang dan pengalaman. Punya batasan hidup. Punya kewajiban survive dan bahagia dengan caranya sendiri-sendiri. Tanpa dimensi waktu, semua terasa jadi manunggal. Menyatu padat. Titik. Tapi waktu yg ada bukannya kita gunakan sebagai berkat untuk menjelajahi misteri kebenaran, malah kita gunakan buat menciptakan beragam drama kehidupan. Dan sia-sialah pada akhirnya. Manusia tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam ilusinya ....

Itu baru 3 quotes lho ... udah bisa bikin kita bergemuruh (kita = gue).
Tapi, ya gitu deh. Buat 99% lainnya yang nonton film ini, paling komentarnya ..
“Just another film malam mingguan ... “.

Yeahhh … gue no komen deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar