“Mind blowing”
Gitulah yang satu-satunya tumpah dari mulut gue begitu
beres nonton film “Lucy” hasil besutan dalang film Perancis Luc Besson. Kalau
belom pernah nonton tuh film, gue bocorin deh spoilernya : ceritanya tentang
cewek bernama Lucy yang di awal film kemampuan otaknya cuma 1% . Lalu gara-gara
sebuah peristiwa apes, dia dipaksa nyelundupin sekantong plastik narkoba jenis baru
yang disisipin dibawah usus di dalam perutnya. Nah, di satu kejadian, perutnya
ditendang oleh salah satu antek penyelundup itu.
Alhasil isi kantong narkoba di perutnya robek dan mengkontaminasi darahnya sampai ke otak. Terjadi deh proses berantai kimia, yang memicu akselerasi kemampuan otak Lucy. So, menit demi menit film itu nunjukin apa aja gejala-gejala yang dialami manusia kalau kapasitas otaknya setahap demi setahap mencapai 100%.
Alhasil isi kantong narkoba di perutnya robek dan mengkontaminasi darahnya sampai ke otak. Terjadi deh proses berantai kimia, yang memicu akselerasi kemampuan otak Lucy. So, menit demi menit film itu nunjukin apa aja gejala-gejala yang dialami manusia kalau kapasitas otaknya setahap demi setahap mencapai 100%.
Kisahnya bersinggungan juga dengan seorang Profesor bernama Norman yang selama tahunan udah menyelidiki tentang
hipotesis kemampuan evolusi otak manusia, yang di penghujung film itu akhirnya ketemu
dengan Lucy dan menjadi saksi mata betapa mencengangkannya kesaktian otak yang
bisa mencapai 100%.
Memang sih, tokh
cuma film. Garapan fiksi yang kawin dengan sedikit bumbu science.
Tapi .... buat
gue, film itu bicara lebih banyak. Film itu ditunggangi oleh kebijakan
filsafat yang tinggi. Dan Luc besson ternyata bukan sutradara sembarangan ... karena
di mata gue dia adalah wujud seorang filsuf era digital. Dan rupanya, film ini
adalah jeritan hatinya yang makan waktu 10 tahun masa inkubasi sampai akhirnya
bisa dimuntahkan ke kesadaran kita dalam bentuk film.
When U can’t tell people about it, just make a scifi movie out of it.
Selain film the Matrix yang udah tenggelam di lautan film
hollywood bertahun-tahun lalu, gue pikir film Lucy ini punya misi sama ….telling people the possible truth. Film ini fungsinya mirip sendok di segelas es teh
manis. Pengocok status quo. Membangkitkan endapan gula yang terlupakan. Dan
butiran-butiran gula yang belum larut dalam kehidupan kita yang manis ini
mencuat dalam dialog-dialog film Lucy ...
"We humans are more concerned with having than with being." (Profesor Norman)
Hmmm … gue ketawa kecil begitu denger potongan kalimat ini
muncul. Mengangguk-angguk kayak anjing yang baru dikasih makan tulang. Uh,
bener banget. Segala kericuhan manusia yang sibuk pingin “memiliki” akhirnya
membuat kita berburu ilusi sampai mati. Dan kita ujung-ujungnya cuma menjadi
manusia yang pernah merasa punya ini dan itu, ketimbang menjadi manusia yang
mencari ujud jati dirinya. Dan panggung kekonyolan kitapun bergema dimana-mana.
Kepedulian untuk memiliki akhirnya bikin kita posesif dengan orang. Bikin kita depresi saat merasa kehilangan.
Karena begitu kita yakin bahwa kita bisa memiliki, maka kitapun jadi yakin akan
resiko kehilangan. Padahal kata “memiliki” itu gak pernah punya makna mutlak.
Coba seandainya kita sadar, bahwa kita tidak pernah bisa dan berhak memiliki
apapun – mengontrol apapun. Maka otomatis, kita gak akan pernah merasa
“kehilangan”.
Aihh .. aih …. Tingkah
manusia sungguh menggelikan ya ...
“All social systems we’ve put into place are a mere sketch:
“one plus one equals two”, that’s all we’ve learned, but one plus one has never
equaled two — there are in fact no numbers and no letters, we’ve codified our
existence to bring it down to human size, to make it comprehensible, we’ve
created a scale so we can forget its unfathomable scale.” (Lucy)
O la laa … menohok banget. Apapun yang kita coba bangun
adalah berdasarkan konsep, konsep, dan konsep yang kita ciptakan sendiri.
Cinta, Pangkat, Sosial, Angka, Kata. Semua itu cuma sketsa yang kita bangun
karena ketidakmengertian kita tentang diri kita sendiri. Makanya, saking
manusia itu malas menjelajahi dan maunya yang gampang-gampang dipahami, maka
mulailah kita merancang-rancang seabrek-abrek definisi yang lebih mudah kita
pahami. Alias kita menciptakan semua imej-imej tentang apapun … dan
menganggapnya sebagai pijakan sejati. Kita melindungi masing-masing diri kita
dengan menciptakan gelembung-gelembung hidup yang seaman dan senyaman mungkin.
Gak perlu repot mikir, dan ga akan resiko disebut penyimpangan sosial.
“Time is the only true unit of measure, it gives proof to
the existence of matter, without time, we don’t exist.” (Lucy)
Dimensi waktu adalah dimensi yang memungkinkan manusia punya
ruang dan pengalaman. Punya batasan
hidup. Punya kewajiban survive dan bahagia dengan caranya sendiri-sendiri. Tanpa
dimensi waktu, semua terasa jadi manunggal. Menyatu padat. Titik. Tapi waktu yg
ada bukannya kita gunakan sebagai berkat untuk menjelajahi misteri kebenaran,
malah kita gunakan buat menciptakan beragam drama kehidupan. Dan sia-sialah
pada akhirnya. Manusia tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam ilusinya ....
Itu baru 3 quotes
lho ... udah bisa bikin kita bergemuruh (kita = gue).
Tapi, ya gitu
deh. Buat 99% lainnya yang nonton film ini, paling komentarnya ..
“Just another film malam mingguan ... “.
Yeahhh … gue no komen deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar