Pengalaman bertemu malaikat bertopeng itu cuma ada di film.
Tapi, rupa-rupanya gue harus rela mengakui : TIDAK. Malaikat bertopeng itu
ada. NYATA. Dan berkeliaran di Jakarta.
Jadi, ceritanya, sehari tepat sebelum malam Natal, gue
menggandeng ONENG nemenin gue menyusuri daerah sekitar Mal Puri sehabis
memberikan konseling pribadi buat sepasang klien. Ehm, Oneng itu nick name buat
motor butut gue yang udah begitu setia belasan tahun jadi saksi kisah hidup
gue. Dan saking cintanya gue dengan si Oneng ini, maka seringkalinya gue
memilih dia ketimbang kencan bersama si BOM-BOM. Ooww sori, Bom-Bom itu nick
name buat mobil gue yang umurnya lebih muda ketimbang Oneng.
Well, Oneng
dengan Bom-Bom silih berganti jadi tunggangan gue, tergantung situasi jalan dan
cuaca.
So, lepas magrib, Onengpun gue duduki dengan manis, siap
gue boyong pulang. Tapi begitu distater, dia batuk-batuk dan gak mau nyala. Kayak
nenek-nenek yang dipaksa joging keliling kampung, tau-tau si Oneng jantungan
dan gak lagi mau bernapas. Berkali-kali gue engkol manualpun, dia gak mau
meraung-raung lagi. Memilih diam dan bisu. Dan, gue, udah kayak kekasih yang
ditinggal bunuh diri, langsung lemas dan menatap awan, sambil bathin berteriak,
“WHYYY MEEEE!? WHY NOWWW?”
Ohhh, nasib naas
di depan mata. Baru aja membayangkan diri mendorong motor sampe ketemu bengkel
terdekat udah bikin kaki keram-keram. Maklum, daerah sekitar Puri bukan daerah
pemukiman kampung yang ramah pada motor mogok. Bengkel motor di situ udah kayak
pohon kaktus di tengah gurun, ... langka, booo.
Lagi pula, gue
ini gaptor, gagap motor. Taunya
cuma bongkar pasang mesin psikis manusia. Dulu kuliah Psikologi
bertahun-tahun, gak pernah diajarin Dosen buat analisa motor mogok. Yah ..
jadilah gue mengisap jempol kuat-kuat pertanda pasrah. Dan akhirnya mulailah
berderap langkah kaki mendorong motor. Sambil berdoa, semoga Tuhan cukup baik
membuat pria malang ini tiba-tiba bisa punya otot baja mendorong motor sekian
jauhnya.
10 menit lewat, belum ada tanda-tanda ada bengkel. Yang ada cuma tanda-tanda tulang copot dan jempol kaki yang mulai gede sebelah. Baju dan badan udah nempel dengan keringat. Sementara di kanan gue, mobil-mobil berseliweran berisi cukong-cukong dan tante-tante yang mungkin seumur hidupnya belum tau rasanya dorong motor. Dan, bukannya tambah rame, masuklah gue ke ruas jalan sepi di pinggiran perumahan elite yang cuma diterangi lampu jalan, menyisakan siluet bayangan gue di tengah hamparan aspal yang bisu (lebayyy dah ..).
10 menit lewat, belum ada tanda-tanda ada bengkel. Yang ada cuma tanda-tanda tulang copot dan jempol kaki yang mulai gede sebelah. Baju dan badan udah nempel dengan keringat. Sementara di kanan gue, mobil-mobil berseliweran berisi cukong-cukong dan tante-tante yang mungkin seumur hidupnya belum tau rasanya dorong motor. Dan, bukannya tambah rame, masuklah gue ke ruas jalan sepi di pinggiran perumahan elite yang cuma diterangi lampu jalan, menyisakan siluet bayangan gue di tengah hamparan aspal yang bisu (lebayyy dah ..).
Di ujung
sisa-sisa tenaga gue, tiba-tiba ada motor melambat di belakang. Terdengar
suara orang nyeletuk, ”Kenapa motornya?”
gue menengok ke
belakang. Seorang cowok. Helm
teropong. Motor gede. Masker mulut. Cuma keliatan matanya aja menatap
penasaran. “Mogok, nih, gak bisa
distater,” sahut gue asal-asalan. Di jalan begini sepi, disambangin orang
bermotor gede, kemungkinannya bisa seribu, dua diantaranya : kalo gak dirampok,
digodain, atau dimintain sumbangan. Ditolongin, adalah kemungkinan yang ke
seribu.
“Ya, udah naikin aja motornya, gue dorong pake
kaki ampe ke bengkel,”
tiba-tiba dia bersuara.
Untuk beberapa
detik, gue terkesiap. Gak percaya. Menganggap kuping gue terlalu
berhalusinasi karena kemasukan banyak debu. Namun, sedetik kemudian, wajah gue
kembali bernuansa pasrah, “Ohh thx bro
... tengkiu”.
Dan motor guepun
melaju pelan didorong oleh kakinya dengan bantuan motornya. Dan gue tahu
persis, pengalaman dulu waktu bantuin motor temen yang mogok dengan cara
begitu, tetep akan membuat sebelah kaki nyut-nyutan. Dan ini bukan temen, bukan
sodara, bukan rahib. Dia ini satria berhelm yang entah namanya siapa.
Bahkan di setiap
tikungan dan belokan, gue insist bilang, “Udah
makasih Bro, cukup sampe sini aja. Biar aku lanjut dorong. Mungkin bengkelnya
udah deket-deket sini.” Dan dia dengan wajah minimalisnya yang cuma
keliatan dua matanya doang, rajin menampik, “Udah
santai aja. Sampe ketemu bengkel.”
Perjalanan dorong
motor yang lumayan berkelok-kelok, meyakinkan gue kalau dia ini udah keluar
jalur aslinya sejak tadi. Demi gue sang pria malang, dia sudah mengorbankan
sebelah kakinya dan menjauh dari arah tujuannya. Siapa tau, pacarnya nun jauh
disana sedang bertanya-tanya dalam hati, “Mana
ya si Abang? Koq ga nyampe-nyampe?”
Dan, begitulah.
Sebuah bengkel kecil menyambut gue bermenit-menit kemudian. Si Oneng gue rapatkan di sana. Lalu menoleh
ke sang satria helm. Maksud
hati mau say tengkiu secara lebih ritual dan magis. Atau mungkin berlanjut sekalian
dengan tukaran kartu nama dan foto selfie bareng. Terbersit juga pingin
menggabruk dan menciumi dia bertubi-tubi sampe merah mukanya. Tapi, baru aja
selesai bilang kata pembukaan “Thx yah
bro!”, di luar dugaan, dia sama sekali gak turun dari motornya. Langsung
tancap gas pelan sambil melambaikan tangannya, dan segera hilang ditelan serabutnya
lalu lintas.
Alkisah, si Oneng
kembali bisa bernapas seudah diberi jampi-jampi seharga 25 rebu sama si abang
bengkel. gue pun bisa melenggang pulang dengan aman sentosa, membawa sebuah
goresan catatan di hati. Catatan tentang kota Jakarta yang kata orang kejam
bukan main.
Mulai malam itu,
Jakarta bukan lagi kota yang sama. Karena gue akhirnya tahu, di sela-sela para
penjambret, tukang tadah dan koruptor, Jakarta masih menyimpan hati. Dan hati
itu tertambat di segilintir pahlawan-pahlawan bertopeng yang berkeliaran dan
enggan menyebut namanya.
Dan kalaupun gue
tak akan pernah punya kesempatan membalas kebaikan hatinya. Paling tidak,
semoga saja, gue gak lagi bakal melengos cuek manakala melihat seorang pria
sedang kebingungan di pinggir jalan sambil mendorong motornya dengan pasrah.
Pay it forward ..
Dan untuk sang
pahlawan yang sudah mengorbankan 15 menit waktunya yang berharga, dimanapun
kamu berada .... let me say it again ... thanks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar