Rabu, 24 Desember 2014

Pay it forward

Pengalaman bertemu malaikat bertopeng itu cuma ada di film. Tapi, rupa-rupanya gue harus rela mengakui : TIDAK. Malaikat bertopeng itu ada. NYATA. Dan berkeliaran di Jakarta.
Jadi, ceritanya, sehari tepat sebelum malam Natal, gue menggandeng ONENG nemenin gue menyusuri daerah sekitar Mal Puri sehabis memberikan konseling pribadi buat sepasang klien. Ehm, Oneng itu nick name buat motor butut gue yang udah begitu setia belasan tahun jadi saksi kisah hidup gue. Dan saking cintanya gue dengan si Oneng ini, maka seringkalinya gue memilih dia ketimbang kencan bersama si BOM-BOM. Ooww sori, Bom-Bom itu nick name buat mobil gue yang umurnya lebih muda ketimbang Oneng.
Well, Oneng dengan Bom-Bom silih berganti jadi tunggangan gue, tergantung situasi jalan dan cuaca.
So, lepas magrib, Onengpun gue duduki dengan manis, siap gue boyong pulang. Tapi begitu distater, dia batuk-batuk dan gak mau nyala. Kayak nenek-nenek yang dipaksa joging keliling kampung, tau-tau si Oneng jantungan dan gak lagi mau bernapas. Berkali-kali gue engkol manualpun, dia gak mau meraung-raung lagi. Memilih diam dan bisu. Dan, gue, udah kayak kekasih yang ditinggal bunuh diri, langsung lemas dan menatap awan, sambil bathin berteriak, “WHYYY MEEEE!? WHY NOWWW?”
Ohhh, nasib naas di depan mata. Baru aja membayangkan diri mendorong motor sampe ketemu bengkel terdekat udah bikin kaki keram-keram. Maklum, daerah sekitar Puri bukan daerah pemukiman kampung yang ramah pada motor mogok. Bengkel motor di situ udah kayak pohon kaktus di tengah gurun, ... langka, booo.
Lagi pula, gue ini gaptor, gagap motor. Taunya cuma bongkar pasang mesin psikis manusia. Dulu kuliah Psikologi bertahun-tahun, gak pernah diajarin Dosen buat analisa motor mogok. Yah .. jadilah gue mengisap jempol kuat-kuat pertanda pasrah. Dan akhirnya mulailah berderap langkah kaki mendorong motor. Sambil berdoa, semoga Tuhan cukup baik membuat pria malang ini tiba-tiba bisa punya otot baja mendorong motor sekian jauhnya.

10 menit lewat, belum ada tanda-tanda ada bengkel. Yang ada cuma tanda-tanda tulang copot dan jempol kaki yang mulai gede sebelah. Baju dan badan udah nempel dengan keringat. Sementara di kanan gue, mobil-mobil berseliweran berisi cukong-cukong dan tante-tante yang mungkin seumur hidupnya belum tau rasanya dorong motor. Dan, bukannya tambah rame, masuklah gue ke ruas jalan sepi di pinggiran perumahan elite yang cuma diterangi lampu jalan, menyisakan siluet bayangan gue di tengah hamparan aspal yang bisu (lebayyy dah ..).

Di ujung sisa-sisa tenaga gue, tiba-tiba ada motor melambat di belakang. Terdengar suara orang nyeletuk, ”Kenapa motornya?”

gue menengok ke belakang. Seorang cowok. Helm teropong. Motor gede. Masker mulut. Cuma keliatan matanya aja menatap penasaran. “Mogok, nih, gak bisa distater,” sahut gue asal-asalan. Di jalan begini sepi, disambangin orang bermotor gede, kemungkinannya bisa seribu, dua diantaranya : kalo gak dirampok, digodain, atau dimintain sumbangan. Ditolongin, adalah kemungkinan yang ke seribu.

“Ya, udah naikin aja motornya, gue dorong pake kaki ampe ke bengkel,” tiba-tiba dia bersuara.

Untuk beberapa detik, gue terkesiap. Gak percaya. Menganggap kuping gue terlalu berhalusinasi karena kemasukan banyak debu. Namun, sedetik kemudian, wajah gue kembali bernuansa pasrah, “Ohh thx bro ... tengkiu”.
Dan motor guepun melaju pelan didorong oleh kakinya dengan bantuan motornya. Dan gue tahu persis, pengalaman dulu waktu bantuin motor temen yang mogok dengan cara begitu, tetep akan membuat sebelah kaki nyut-nyutan. Dan ini bukan temen, bukan sodara, bukan rahib. Dia ini satria berhelm yang entah namanya siapa.
Bahkan di setiap tikungan dan belokan, gue insist bilang, “Udah makasih Bro, cukup sampe sini aja. Biar aku lanjut dorong. Mungkin bengkelnya udah deket-deket sini.” Dan dia dengan wajah minimalisnya yang cuma keliatan dua matanya doang, rajin menampik, “Udah santai aja. Sampe ketemu bengkel.”

Perjalanan dorong motor yang lumayan berkelok-kelok, meyakinkan gue kalau dia ini udah keluar jalur aslinya sejak tadi. Demi gue sang pria malang, dia sudah mengorbankan sebelah kakinya dan menjauh dari arah tujuannya. Siapa tau, pacarnya nun jauh disana sedang bertanya-tanya dalam hati, “Mana ya si Abang? Koq ga nyampe-nyampe?”

Dan, begitulah. Sebuah bengkel kecil menyambut gue bermenit-menit kemudian. Si Oneng gue rapatkan di sana. Lalu menoleh ke sang satria helm. Maksud hati mau say tengkiu secara lebih ritual dan magis. Atau mungkin berlanjut sekalian dengan tukaran kartu nama dan foto selfie bareng. Terbersit juga pingin menggabruk dan menciumi dia bertubi-tubi sampe merah mukanya. Tapi, baru aja selesai bilang kata pembukaan “Thx yah bro!”, di luar dugaan, dia sama sekali gak turun dari motornya. Langsung tancap gas pelan sambil melambaikan tangannya, dan segera hilang ditelan serabutnya lalu lintas.
Alkisah, si Oneng kembali bisa bernapas seudah diberi jampi-jampi seharga 25 rebu sama si abang bengkel. gue pun bisa melenggang pulang dengan aman sentosa, membawa sebuah goresan catatan di hati. Catatan tentang kota Jakarta yang kata orang kejam bukan main. 

Mulai malam itu, Jakarta bukan lagi kota yang sama. Karena gue akhirnya tahu, di sela-sela para penjambret, tukang tadah dan koruptor, Jakarta masih menyimpan hati. Dan hati itu tertambat di segilintir pahlawan-pahlawan bertopeng yang berkeliaran dan enggan menyebut namanya.
Dan kalaupun gue tak akan pernah punya kesempatan membalas kebaikan hatinya. Paling tidak, semoga saja, gue gak lagi bakal melengos cuek manakala melihat seorang pria sedang kebingungan di pinggir jalan sambil mendorong motornya dengan pasrah.
Pay it forward ..
Dan untuk sang pahlawan yang sudah mengorbankan 15 menit waktunya yang berharga, dimanapun kamu berada .... let me say it again ... thanks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar