Kamis, 25 Desember 2014

Edsel

Kenalin. Namanya Edsel.
Belum genap 17 tahun. Masih berkutat dengan buku pelajaran SMP 1. Masih doyan menghayal. Dan tinggal di ujung indonesia sebelah Timur.
Yang sama sekali gue gak menyangka, dia berhasil telak membuat gue malu sama diri sendiri.
So, kejadiannya saat gue lagi berasyik-asyik memberikan training kecerdasan emosional buat publik di Hotel Santika. Di sela-sela ngaso mengajar, datanglah Edsel diboyong emaknya yang imut-imut masuk ke ruang training.
Maklumlah Sang Emak ini sekalian menyambangi suaminya yang kebetulan jadi peserta training kami. Dan terlebih lagi, mereka ini adalah best friend merangkap best big brother dan best big sister yang di tempo doeloe pernah menjabat sebagai kakak kelas gue waktu masih kuliah di Psikologi.
So, pendek kata ... status mereka tentu aja VVIP ... Very Very Ingin Pelukan kalo pas ketemu di manapun.

Nah, Edsel ini anak bungsu mereka, yang hari itu entah iklas atau tidak, harus ikut-ikutan emaknya menengok sang ayah. Maka, begitu dia masuk ke ruang training yang bejibun ama manusia-manusia tua yang gak mengerti dunia Dragon Ball atau Doraemon, maka kontanlah Edsel cari-cari kesibukan sendiri. Lalu, dipilihnya sebuah bangku di pojokan ruang training. Segera dia duduk berlutut dan memunggungi gue yang waktu itu juga sedang duduk-duduk sambil menonton proses training.
Saat-saat mata mulai kendor menonton rutinitas training yang lagi dibawakan rekan gue, maka guepun membalikkan badan menoleh ke si Edsel ini. Orangnya masih betah bertahan berlutut di depan kursi. Tangannya tampak bergerak-gerak. guepun penasaran, dan bangkit berdiri mengingsut ke arah Edsel yang lagi tenggelam dalam dunianya entah dimana. Dan apa yang gue pergoki? Tangan Edsel yang memegang pulpen rupanya sedang berjoget-joget di atas sebuah buku tulis. Gak. Dia gak lagi ngerjain Pe Er. Gak mungkin juga sedang menghitung-hitung pajak penghasilan bapaknya yang kerja di Freeport Tembaga Pura. Melainkan sedang membuat komik.

gue pelototin hasil karyanya. Tau-tau gue terperangah karena menyadari komik itu sudah lewat puluhan lembar. Digambar dengan goresan spontan, namun sarat imajinasi anak seusianya. Alur dan cara dia membuat frame gambar terkesan polos, lugas, namun tajam secara koreografinya. Proporsi wajah dan tubuhnya gak mengikuti rule pengkomik orang dewasa. Detailnya hanya fokus pada tokoh-tokohnya aja yang sedang beraksi. Semuanya dibuat dengan kecepatan tinggi dan tidak terlalu banyak mikirin kesempurnaan dan aturan ilustrasi.

Tapi di situlah hebatnya Edsel. Spontan. Mengalir. Lugas. Menjadikan buku tulis itu sebuah masterpiece yang kelak akan jadi benda harta karunnya saat dia mulai beruban dan berjenggot panjang kelak.
Dan di situlah bedanya Edsel dengan gue.

gue ingat bener. Seusianya dia, guepun bikin komik. Tapi kontras sekali gayanya. gue pakai pensil mekanik, penggaris, penghapus, dan buku gambar Letjes putih polos. Parahnya, yang paling membedakan gue dan Edsel adalah : dia mengacuhkan aturan dan kesempurnaan. Sementara gue begitu sangat menyembah kesempurnaan. Berharap kelak komik pensil gue masuk museum nasional dan dikeproki tepuk tangan jutaan orang. Dan tau gak hasilnya? Komik gue tidak pernah lewat berpuluh-puluh lembar. Dan dari sekian project komik yang gue lakonin, cuman 1 atau 2 yang sukses sampai tamat. Selebihnya cuma selesai separo dan keburu mati lemas karena terlanjur jenuh dan terdistraksi.

Di sinilah titik didih rasa malu gue saat melihat hasil karya Edsel. Komik gue dulu menjadi terkesan formal dan biasa. Sementara punya edsel jadi mencuat dan unik. Seolah seluruh jiwa raga Edsel larut dalam setiap goresannya. Dan ketika sesuatu yang tampak awalnya tidak sempurna dan tidak proporsional, lama-lama setelah lewat puluhan lembar ... menjadi sesuatu yang brillian dan jenius. Makanya gue mengerti kenapa jajaran ilustrator profesional di dunia sekarang ini berusaha mati-matian supaya bisa menghasilkan gambar yang bisa memancarkan kepolosan anak-anak. Tidak harus proporsional. Tidak harus logis dan sempurna.
Menghayati komik Edsel membuat gue jadi ngelamunin Paradox Kesempurnaan. Kadang pingin sempurna itu bagus. Namun bisa menggerogoti dan mengurangi kenikmatan. Entah apapun yang kita lakukan. Di rumah, di kantor, di keluarga, tuntutan menjadi sempurna .... kadang bikin kita capek dan lelah hati. Dan akhirnya malah kita gak pernah bisa tuntas menikmati seni kehidupan. 

Mungkin pantasnya Edsel jadi trainer dan pembicara aja. Keliling dunia dan mengajarkan orang-orang soal kesempuranaan dalam ketidaksempurnaan. Hmmm ... kalaupun beneran kelak Edsel jadi guru jutaan manusia, semoga dia ingat, kalau di usianya yang masih SMP, dia sudah beroleh muridnya yang pertama. Namanya Max Sandy .....

Arigato, suhu Edsel .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar