Belum genap 17
tahun. Masih berkutat dengan
buku pelajaran SMP 1. Masih
doyan menghayal. Dan tinggal di ujung indonesia sebelah Timur.
Yang sama sekali
gue gak menyangka, dia berhasil telak membuat gue malu sama diri sendiri.
So, kejadiannya
saat gue lagi berasyik-asyik memberikan training kecerdasan emosional buat
publik di Hotel Santika. Di sela-sela ngaso mengajar, datanglah Edsel diboyong
emaknya yang imut-imut masuk ke ruang training.
Maklumlah Sang Emak ini sekalian menyambangi suaminya yang kebetulan jadi peserta training kami. Dan terlebih lagi, mereka ini adalah best friend merangkap best big brother dan best big sister yang di tempo doeloe pernah menjabat sebagai kakak kelas gue waktu masih kuliah di Psikologi.
So, pendek kata ... status mereka tentu aja
VVIP ... Very Very Ingin Pelukan kalo pas ketemu di manapun.Maklumlah Sang Emak ini sekalian menyambangi suaminya yang kebetulan jadi peserta training kami. Dan terlebih lagi, mereka ini adalah best friend merangkap best big brother dan best big sister yang di tempo doeloe pernah menjabat sebagai kakak kelas gue waktu masih kuliah di Psikologi.
Nah, Edsel ini anak bungsu mereka, yang hari itu entah iklas
atau tidak, harus ikut-ikutan emaknya menengok sang ayah. Maka, begitu dia masuk
ke ruang training yang bejibun ama manusia-manusia tua yang gak mengerti dunia
Dragon Ball atau Doraemon, maka kontanlah Edsel cari-cari kesibukan sendiri.
Lalu, dipilihnya sebuah bangku di pojokan ruang training. Segera dia duduk
berlutut dan memunggungi gue yang waktu itu juga sedang duduk-duduk sambil menonton
proses training.
Saat-saat mata mulai kendor menonton rutinitas training yang
lagi dibawakan rekan gue, maka guepun membalikkan badan menoleh ke si Edsel
ini. Orangnya masih betah bertahan berlutut di depan kursi. Tangannya tampak
bergerak-gerak. guepun penasaran, dan bangkit berdiri mengingsut ke arah Edsel
yang lagi tenggelam dalam dunianya entah dimana. Dan apa yang gue pergoki?
Tangan Edsel yang memegang pulpen rupanya sedang berjoget-joget di atas sebuah
buku tulis. Gak. Dia gak lagi ngerjain Pe Er. Gak mungkin juga sedang
menghitung-hitung pajak penghasilan bapaknya yang kerja di Freeport Tembaga
Pura. Melainkan sedang membuat komik.
gue pelototin hasil karyanya. Tau-tau gue terperangah karena menyadari
komik itu sudah lewat puluhan lembar. Digambar dengan goresan spontan, namun
sarat imajinasi anak seusianya. Alur dan cara dia membuat frame gambar terkesan
polos, lugas, namun tajam secara koreografinya. Proporsi wajah dan tubuhnya gak
mengikuti rule pengkomik orang dewasa. Detailnya hanya fokus pada
tokoh-tokohnya aja yang sedang beraksi. Semuanya dibuat dengan kecepatan tinggi
dan tidak terlalu banyak mikirin kesempurnaan dan aturan ilustrasi.
Tapi di situlah hebatnya Edsel. Spontan. Mengalir. Lugas.
Menjadikan buku tulis itu sebuah masterpiece yang kelak akan jadi benda harta
karunnya saat dia mulai beruban dan berjenggot panjang kelak.
Dan di situlah
bedanya Edsel dengan gue.
gue ingat bener.
Seusianya dia, guepun bikin
komik. Tapi kontras sekali gayanya. gue pakai pensil mekanik, penggaris,
penghapus, dan buku gambar Letjes putih polos. Parahnya, yang paling membedakan
gue dan Edsel adalah : dia mengacuhkan aturan dan kesempurnaan. Sementara gue
begitu sangat menyembah kesempurnaan. Berharap kelak komik pensil gue masuk
museum nasional dan dikeproki tepuk tangan jutaan orang. Dan tau gak hasilnya?
Komik gue tidak pernah lewat berpuluh-puluh lembar. Dan dari sekian project
komik yang gue lakonin, cuman 1 atau 2 yang sukses sampai tamat. Selebihnya cuma
selesai separo dan keburu mati lemas karena terlanjur jenuh dan terdistraksi.
Di sinilah titik
didih rasa malu gue saat melihat hasil karya Edsel. Komik gue dulu menjadi
terkesan formal dan biasa. Sementara punya edsel jadi mencuat dan unik. Seolah
seluruh jiwa raga Edsel larut dalam setiap goresannya. Dan ketika sesuatu yang
tampak awalnya tidak sempurna dan tidak proporsional, lama-lama setelah lewat puluhan
lembar ... menjadi sesuatu yang brillian dan jenius. Makanya gue mengerti
kenapa jajaran ilustrator profesional di dunia sekarang ini berusaha
mati-matian supaya bisa menghasilkan gambar yang bisa memancarkan kepolosan
anak-anak. Tidak harus proporsional. Tidak harus logis dan sempurna.
Menghayati komik
Edsel membuat gue jadi ngelamunin Paradox Kesempurnaan. Kadang pingin sempurna
itu bagus. Namun bisa menggerogoti dan mengurangi kenikmatan. Entah apapun yang
kita lakukan. Di rumah, di kantor, di keluarga, tuntutan menjadi sempurna ....
kadang bikin kita capek dan lelah hati. Dan akhirnya malah kita gak pernah bisa
tuntas menikmati seni kehidupan.
Mungkin pantasnya
Edsel jadi trainer dan pembicara aja. Keliling dunia dan mengajarkan orang-orang
soal kesempuranaan dalam ketidaksempurnaan. Hmmm ... kalaupun beneran kelak
Edsel jadi guru jutaan manusia, semoga dia ingat, kalau di usianya yang masih
SMP, dia sudah beroleh muridnya yang pertama. Namanya Max Sandy .....
Arigato, suhu
Edsel .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar