Ada
masanya dimana aku bertengger pada keajaiban kata-kata.
Masa dimana aku selalu bernaung dalam aroma bijak dari
petuah-petuah mandraguna.
Menyelubungiku
dengan keindahan sejuta label.
Maka aku gunakan
telingaku untuk menangkap ajaran dunia.
Menggunakan lidahku
untuk menjabarkan hidup.
Seolah semuanya
muat dalam dus-dus kalimat bermandikan tanda-tanda baca.
Aku menjadi
pendengar dan pembicara
Dan lalu ..... bosan
.... Jengah
Karena aku tidak
pernah betul-betul mendapatkan petuah.
Dan tidak pernah
sungguh-sungguh bisa menjawab.
Rohku menggembung
... membungkus geliat keresahan.
Sesuatu pasti ada
melebihi ini semua.
Namun selaput
kaca kesombonganku terlanjur menjadi tabir.
Aku tidak bisa
melihat.
Padahal guruku
selalu di sana.
Selalu mengajarku.
Apa yang
kulewati?
Adakah yang aku
luput cerna?
Aku terlalu tebal
ilmu.
Aku kelewat sarat
definisi.
Aku harus ... mati.
Maka kusambut
belati itu.
Menghunjamkannya sekali
tepat di pangkal pintu wawasanku.
Memburaikan semuanya.
Sampai akhirnya
aku berhenti berdetak.
Mati bersama
jubah-jubahku.
Aku telanjang
lagi.
seorang bocah
dungu.
Yang tidak bisa
membaca aksara.
Dan dalam remang
kematianku.
Aku memutuskan
duduk menatap guruku.
Melihat
Dan lamat-lamat
Semuanya jadi
berbeda.
Angin tidak lagi cuma
gemerisik
Daun-daun tidak cuma
sekedar hijau.
Burung-burung
tidak lagi sekedar mengepak-ngepak.
Cahaya tidak lagi
hanya binaran.
Dan senyuman
guruku
Bukan sekedar
sunggingan bibir tua.
Semua menjadi .....
agung
dan
Di situlah aku
untuk pertama kalinya
Menikmati khotbah
sunyi.
Duduk menikmati
jawaban-jawaban angin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar