Selasa, 16 September 2014

Sang Murid



Ada masanya dimana aku bertengger pada keajaiban kata-kata.
Masa dimana aku selalu bernaung dalam aroma bijak dari petuah-petuah mandraguna.
Menyelubungiku dengan keindahan sejuta label.
Menjadikanku insan diplomatis perangkai kata.


Maka aku gunakan telingaku untuk menangkap ajaran dunia.
Menggunakan lidahku untuk menjabarkan hidup.
Seolah semuanya muat dalam dus-dus kalimat bermandikan tanda-tanda baca.

Aku menjadi pendengar dan pembicara

Dan lalu ..... bosan
.... Jengah

Karena aku tidak pernah betul-betul mendapatkan petuah.
Dan tidak pernah sungguh-sungguh bisa menjawab.

Rohku menggembung ... membungkus geliat keresahan.
Sesuatu pasti ada melebihi ini semua.
Namun selaput kaca kesombonganku terlanjur menjadi tabir.
Aku tidak bisa melihat.

Padahal guruku selalu di sana.
Selalu mengajarku.

Apa yang kulewati?
Adakah yang aku luput cerna?

Aku terlalu tebal ilmu.
Aku kelewat sarat definisi.
Aku harus ... mati.

Maka kusambut belati itu.
Menghunjamkannya sekali tepat di  pangkal pintu wawasanku.
Memburaikan semuanya.

Sampai akhirnya aku berhenti berdetak.
Mati bersama jubah-jubahku.
Aku telanjang lagi.
seorang bocah dungu.
Yang tidak bisa membaca aksara.

Dan dalam remang kematianku.
Aku memutuskan duduk menatap guruku.

Melihat

Dan lamat-lamat
Semuanya jadi berbeda.

Angin tidak lagi cuma gemerisik
Daun-daun tidak cuma sekedar hijau.
Burung-burung tidak lagi sekedar mengepak-ngepak.
Cahaya tidak lagi hanya binaran.

Dan senyuman guruku
Bukan sekedar sunggingan bibir tua.

Semua menjadi ..... agung

dan
Di situlah aku untuk pertama kalinya
Menikmati khotbah sunyi.

Duduk menikmati jawaban-jawaban angin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar