Jumat, 26 September 2014

Orang Utan



Pernah ngerasa jadi orang utan?
Bukan karena tau-tau badan bebulu rimbun. Bukan juga karena tiba-tiba punya obsesi panjat pohon dan mengganyang pisang. Tapi gara-gara kembali pada dunia komunikasi analog. Tidak kenal radiowave. Tidak ada pencat pencet atau usap-usap gadget.

Gue pernah. Dua hari.

Hidup tanpa handphone.
Bukan karena niat mulia atau belagak sok suci. Tapi karna nasib kurang bagus ditimpa bencana BB semaput.
Tanpa kulo nuwun dan sopan santun, suatu hari saat ada event training publik, BB gue tiba-tiba mogok kelap kelip lagi. Byar ... pet. Berusaha gue rayu dan elus-elus juga gak mempan. Tuh HaPe tetap memilih bisu. Mati suri.

So ... lengkap sudah cerita deritanya. Selama belum bisa merayap ke bengkel HP, maka gue harus iklas balik ke jaman pre-historik. Kudu iklas makan dan minum tanpa bisa melirik HP barang sedetikpun. Harus iklas chit-chat dengan orang-orang tanpa punya senjata pelarian HP di kala kehilangan topik obrolan. Harus iklas jalan kaki seperti masa perang kemerdekaan, cuma melihat lurus ke depan tanpa pernah diganggu getar-getar nakal dari balik kantong celana. Bahkan, kenikmatan menerawang di toilet juga jadi kurang gegap gempita tanpa ada HP. Pokoknya, serba ada yang kurang. Seolah sebongkah besar kedamaian hidup lumer begitu saja. Sepi ...

Jadilah tersadar. Iya ya, mungkin betul banget apa yang pernah terucap oleh para leluhur bijak kita ”Kita tak pernah menyadari untuk bahagia dengan alasan-alasan sederhana sebelum sesuatu yang sederhana itu direnggut dari hidup kita.”

Oksigen, kelengkapan jari kita, air putih, kasur empuk, atap rumah, sampai kancing baju bukanlah hal-hal mewah yang membuat kita berseri-seri setiap hari. Itu barang umum, hal lumrah dan biasa. Doesn’t matter. Not a big deal. Begitu juga HP yang menyala-nyala riang, bukanlah alasan kita buat berbahagia.
But WAIT. Begitu itu hilang atau rusak, tiba-tiba langit berasa runtuh di kepala kita.

Anehnya, detik-detik kita bisa merasakan lagi nikmatnya benda-benda sepele yang tadinya rusak, setruman kebahagiaan sejenak menggocang kepala kita … membuat kita lega, ceria, … a moment of extacy. Dan kemudian, setelah beberapa hari kemudian ….. surut lagi …. mengembalikan lagi rasa tumpul kita kepada benda-benda itu.
Ohhh … so human.

Itu juga yang gue alami. Begitu HP gue disembur aji-ajian oleh dukun HP sakti langganan gue, maka HP mati suri itu tiba-tiba bangkit lagi dari kuburnya. Kembali menyala kelap kelip. Kembali patuh pada setiap usapan jari gue. Dan, berhubung gue pernah tahu gimana rasanya punya HP beku, maka nyala warna warni HP gue jadi terlihat sungguh megah. Lonjakan hormon serotonin di kepala gue langsung menyembur deras mengisi semua ujung-ujung pembuluh darah gue. Dan detik-detik itu sungguh magis. Rasa bahagia terasa menyengat.

Hmmm …. Dalam hati gue membathin .. “Seandainya gue diijinkan untuk bisa merasakan sensasi seperti ini lebih lamaaaaa lagi ….”

Ya. Kenapa gak?
Ini namanya kesadaran transendental (gileee, keren banget namanya). Kalau bisa menyadari bahwa sesungguhnya semua hal biasa itu … sesungguhnya tidak biasa. Tanpa perlu menunggu atap rumah kita bocor, MP3 player kita jebol, atau jari-jari kita kegilas truk semen – kita bisa memutuskan untuk menikmati semua hal-hal yang biasa itu dengan segenap kegirangan kita. Dengan segenap roh kita. Dengan segenap indera kita.
OOOhhhh …. hepinya bisa melihat HP yang berfungsi normal dan waras lagi. Hepinya bisa merasakan tenggorokan yang masih bisa menelan air putih hangat. Hepinya bisa menikmati kursi rumah yang busanya masih empuk ….. Hepinya dengan semua yang ada dan berfungsi baik ….






Tidak ada komentar:

Posting Komentar