Kamis, 17 Januari 2013

Banjir is the Guru



Jakarta  itu guru yang sakti dan baik hati.
Kenapa begitu?
Karena dia tidak mengajari kita dengan gumpalan khotbah dan pelototan mata. Cukup dengan gumpalan air saja. Sekali Jakarta menangis, air matanya menyumbat semua kerutinan kita.
Busway, angkot, dan bajaj langsung keder dibuatnya.
Sedan-sedan mewah milyaran ikutan amblas tanpa ampun. Motor-motor yang belum genap lunas kreditnya juga ikut-ikutan dibikin semaput. Orang yang berkaos oblong ataupun yang berdasi sama-sama kena cipratnya. Cuma bisa melongo dan geleng-geleng pasrah.
Jakarta serta merta diumumkan sebagai kota bencana air hari itu. Langit biru cerah ganti pulasan warna menjadi abu-abu pekat dengan hiasan tirai air yang eksotis.

Sepertinya, beton-beton kali yang rencananya ditanam sebagai sumbat air harus terpaksa malu karena masih kalah dengan tetesan kali ciliwung. Ga ada gunanya lagi kanal-kanal air dan pompa-pompa air kalau sudah papasan sama hujan panjang dan awet. Ibu Kota ini selalu minder kalau bertemu musuh utamanya itu.

Saatnya kita membaca abjad-abjad pelajarannya buat kita. Genangan air yang membungkus Jakarta adalah buku pelajaran buat gue dan Anda. Bahwa kita tidak akan pernah bisa menyembunyikan ”penyepelean” kita akan hal-hal utama. Di awal-awal kesannya tidak rugi apa-apa bila kita fokus mengejar konsumen sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan sistem yang carut marut diperusahaan kita. Kesannya baik-baik saja kalau si Boss mendulang emas sementara rakyatnya hanya boleh mendulang lumpur dalam ketidak jelasan. Kesannya aman-aman saja selama si Boss bisa bersembunyi di balik nasihat ”Be a star employee!” tanpa pernah berpikir kalau dirinyapun wajib jadi ”Star Boss”. Itu persis seperti Jakarta yang tidak peduli dengan sekat-sekat selokan dan sistem got, karena terlalu sibuk membangun menara dan melapangkan jalan-jalan aspal. Sama juga dengan orangtua yang menyepelekan main PS bareng anaknya karena berpikir hal-hal yang jauh lebih ”utama” menurut versinya sendiri.
Begitu juga dengan pasangan yang terlalu terbuai mimpi romantisme dan lupa untuk menyetem realitas hubungan sebenarnya di antara mereka.

Mereka pikir, hidup mereka akan aman seribu tahun lagi. Mereka lupa akan kekuatan air yang menggunung dan bisa meretakkan beton setebal apapun. Kalau sudah begitu maka parade tumpahan airnya pun mulai kasat mata : karyawan yang mulai cari-cari peluang kerja di tempat lain. Anak yang mulai cari peluang mencicipi narkoba. Atau pasangan yang mulai melirik gadis tetangga. Dan celakanya, hal-hal itupun masih dianggap aman-aman saja. Jakarta bisa sama butanya dengan kita. Jakarta menganggap air adalah benda bodoh yang bisa dipelintir. Boss juga dapat menganggap karyawannya adalah orang bodoh yang gak bisa berhitung angka wajar dan perlakuan adil. Orangtua yang menganggap anaknya selalu beringus. Pasangan yang menganggap pacarnya cinta buta sampai mati.

Dan kalau kebutaan itu semakin lestari, tinggal tunggu banjir tumpah ruah saja.
Dan bila sudah terjadi, luberan air itu gak bisa dirayu lagi. Arahnya tidak bisa dihentikan. Luapan kekecewaannya sudah meletus bagaikan jerawat yang sudah matang. Kita akan kehilangan orang-orang emas di sekitar kita. Karyawan emas kita undur diri. Anak emas kitas kabur entah kemana. Pacar emas kita pamit tanpa kata.

Seandainya Jakarta itu kota yang melek.
Seandainya Boss dan bawahan bisa melek bersama.
Seandainya Orangtua dan anak sama-sama melek.

Banjir mungkin tidak sekejam yang kita alami sekarang.

Seandainya ......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar