Kenapa begitu?
Karena dia tidak
mengajari kita dengan gumpalan khotbah dan pelototan mata. Cukup dengan gumpalan air saja. Sekali
Jakarta menangis, air matanya menyumbat semua kerutinan kita.
Busway, angkot, dan bajaj langsung keder dibuatnya.
Sedan-sedan mewah milyaran ikutan amblas
tanpa ampun. Motor-motor yang belum genap lunas kreditnya juga ikut-ikutan
dibikin semaput. Orang yang berkaos oblong ataupun yang berdasi sama-sama kena
cipratnya. Cuma bisa melongo dan geleng-geleng pasrah.Busway, angkot, dan bajaj langsung keder dibuatnya.
Jakarta serta
merta diumumkan sebagai kota bencana air hari itu. Langit biru cerah ganti
pulasan warna menjadi abu-abu pekat dengan hiasan tirai air yang eksotis.
Sepertinya,
beton-beton kali yang rencananya ditanam sebagai sumbat air harus terpaksa malu
karena masih kalah dengan tetesan kali ciliwung. Ga ada gunanya lagi
kanal-kanal air dan pompa-pompa air kalau sudah papasan sama hujan panjang dan
awet. Ibu Kota ini selalu minder kalau bertemu musuh utamanya itu.
Saatnya kita
membaca abjad-abjad pelajarannya buat kita. Genangan air yang membungkus Jakarta adalah buku
pelajaran buat gue dan Anda. Bahwa kita tidak akan pernah bisa menyembunyikan ”penyepelean” kita akan
hal-hal utama. Di awal-awal kesannya tidak rugi apa-apa bila kita fokus mengejar konsumen
sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan sistem yang carut marut diperusahaan
kita. Kesannya baik-baik saja kalau si Boss mendulang emas sementara rakyatnya
hanya boleh mendulang lumpur dalam ketidak jelasan. Kesannya aman-aman saja
selama si Boss bisa bersembunyi di balik nasihat ”Be a star employee!” tanpa
pernah berpikir kalau dirinyapun wajib jadi ”Star Boss”. Itu persis seperti Jakarta yang tidak peduli dengan
sekat-sekat selokan dan sistem got, karena terlalu sibuk membangun menara dan
melapangkan jalan-jalan aspal. Sama juga dengan orangtua yang menyepelekan main
PS bareng anaknya karena berpikir hal-hal yang jauh lebih ”utama” menurut
versinya sendiri.
Begitu juga dengan pasangan yang terlalu terbuai mimpi romantisme dan lupa untuk menyetem realitas
hubungan sebenarnya di antara mereka.
Mereka pikir,
hidup mereka akan aman seribu tahun lagi. Mereka lupa akan kekuatan air yang
menggunung dan bisa meretakkan beton setebal apapun. Kalau sudah begitu maka parade tumpahan
airnya pun mulai kasat mata : karyawan yang mulai cari-cari peluang kerja di
tempat lain. Anak yang mulai cari peluang mencicipi narkoba. Atau pasangan yang
mulai melirik gadis tetangga. Dan celakanya, hal-hal itupun masih dianggap
aman-aman saja. Jakarta bisa sama butanya dengan kita. Jakarta menganggap air
adalah benda bodoh yang bisa dipelintir. Boss juga dapat menganggap karyawannya adalah
orang bodoh yang gak bisa berhitung angka wajar dan perlakuan adil. Orangtua
yang menganggap anaknya selalu beringus. Pasangan yang menganggap pacarnya
cinta buta sampai mati.
Dan kalau
kebutaan itu semakin lestari, tinggal tunggu banjir tumpah ruah saja.
Dan bila sudah
terjadi, luberan air itu gak bisa dirayu lagi. Arahnya tidak bisa dihentikan. Luapan
kekecewaannya sudah meletus bagaikan jerawat yang sudah matang. Kita akan
kehilangan orang-orang emas di sekitar kita. Karyawan emas kita undur diri. Anak
emas kitas kabur entah kemana. Pacar emas kita pamit tanpa kata.
Seandainya
Jakarta itu kota yang melek.
Seandainya Boss dan bawahan bisa melek bersama.
Seandainya
Orangtua dan anak sama-sama melek.
Banjir mungkin
tidak sekejam yang kita alami sekarang.
Seandainya ......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar